Kemarin waktu ngobrol sama Azi, kami berdebat perkara apakah harus menonton konten positif dengan segudang "fafifuwasweswos" seperti cara "Financially Independent di umur 25" atau perkara fomo menyederhanakan Stoikisme menjadi hal yang mudah untuk dipahami bagi semua orang, menurut saya otak memang harus diisi dengan hal-hal positif dengan cara menonton podcast-podcast dengan konten yang mungkin berisi sedangkan menurut dia mengapa harus menonton itu dari perspektif orang lain, hal-hal yang seharusnya bisa dipelajari sendiri, sampai akhirnya kami sampai pada kesimpulan bahwa "Mengisi otak" tidak melulu perkara menonton podcast-podcast yang "wah" itu, namun bisa juga dengan menggali potensi diri walaupun potensi itu terlihat seolah tidak baik di kalangan masyarakat contohnya seorang anak yang suka main game bisa dikelola dengan menyuruh dia menabung lalu membeli laptop untuk mengembangkan kemampuannya di bidang e-sport bisa jadi Football Manager atau yang lainnya.
Berlanjut ke topik konseling,
Seseorang yang badannya demam berobat ke dokter umum, seseorang yang sedang sakit jantungnya berobat ke dokter jantung, lalu bagaimana dengan orang yang stress, depresi, bahkan muncul pikiran-pikiran aneh hingga menyakiti diri?
Pertanyaan semacam ini muncul pertama kali saat saya masih menjadi siswa SMA, muncul mungkin karena kebetulan waktu itu di sekolah saya memperhatikan guru Bimbingan Konseling (BK), maklum saat itu di tempat saya belum sepopuler itu perkara psikolog, psikiater dan alasan kenapa harus ada Guru BK dan saatitu nampaknya Guru BK dipandang hanya sebagai solusi terhadap siswa-siswa yang dipandang "bermasalah" karena siapapun yang sudah masuk ruang BK maka dipastikan keluar dari ruangan tersebut akan jadi trending topic entah di kalangan sekolah atau paling tidak di kelasnya sendiri, seolah-olah anak-anak tersebut akan memiliki masa depan yang suram, tidak terdidik, dan tidak ada harapan menjadi lebih baik.
Hal-hal kecil tersebut tidak hanya berlaku di kalangan pendidikan bahkan di lingkungan sekitar, anak-anak yang memiliki perilaku "nakal" jarang dilakukan pendekatan tertentu, setiap orang seolah berhak memberikan label dan tujuan hidupnya di masa depan. Perbuatan semacam ini tanpa disadari membentuk masyarakat yang anti dengan rasa salah, harus suci, dan tidak boleh ada diskusi, yang dikemudian hari membentuk mata rantai generasi yang tidak mengenali dirinya sendiri namun sibuk menghakimi orang lain, sehingga muncul istilah tabu bagi orang-orang yang memutuskan untuk mengobati "kegilaan pikiran" atau biasa disebut konseling.
Orang-orang yang memutuskan untuk pergi ke psikolog atau psikiater seolah-olah menjadi hal yang aneh, dalam buku "I Want to Die but I want to Eat Teokpokki" semacam esai seorang Baek Se Hee yang mengidap distimia berupa gangguan kecemasan yang membuat dia berpikir berlebih terhadap standar masyarakat hingga merasa dirinya selalu kurang sampai akhirnya ia memiliki keberanian diri untuk ke psikiater dan disitu ia mulai merasa lebih baik, saya sendiri meyakini pengobatan yang berkaitan dengan kejiwaan maupun syaraf adalah pengobatan jangka panjang, ada yang memang membutuhkan mengonsumsi obat atau ada yang butuh hanya bertemu dengan psikolog lalu dibantu untuk mengarahkan pikirannya, namun yang pasti bukan melakukan tindakan pembiaran ketika sudah merasa pikiran-pikiran tersebut berpotensi menyakiti diri.
Ketabuan dalam hal-hal semacam ini mungkin dipengaruhi banyak faktor, terutama di Indonesia dengan jumlah penduduk sudah mencapai sekitar 280 juta jiwa dengan total penduduk hampir 50% merupakan pengguna sosial media, pastinya juga sangat berpengaruh terhadap cara berpikir seseorang, penggunaan media sosial yang masif namun masih memiliki kepekaan sosial yang kurang sebenarnya patut dipertanyakan, apakah karena konten yang tersebar memang lebih banyak yang tidak baik atau memang manusia memang menyukai hal-hal yang "sudah begitu saja".
---sampai jumpa di blog selanjutnya
No comments