Belakangan lagi asyik-asyiknya membaca karyanya Okky Madhasari, entah kenapa rasanya terasa lebih mudah dicerna, entah karena saya sedang ujub merasa otak saya yang memang lagi encer atau memang mba Okky bisa dengan cantik menyusun kata-kata di buku-buku beliau.
Dua buku yang saya baca judulnya “Entrok” dan “Pasung Jiwa”. Dari dua buku ini saya mengerti topik ini memiliki benang merah yaitu keberanian untuk mati maupun hidup, sepertinya melihat latar belakang beliau sebagai wartawan yang idealis dapat dimaklumi sehingga buku-buku yang ditulis tidak jauh dari keadaan masyarakat Indonesia pada umumnya. Masyarakat marginal yang kadang justru direndahkan oleh sesamanya.
Buku “Entrok” menggambarkan Marni seorang ibu yang hidup dengan kepercayaan tradisional dan Rahayu yang hidup dengan prinsip agamisnya. Marni hidup mati-matian menghidupi dirinya bahkan walaupun sudah bersuami malah apes bertemu suami yang kerjanya hanya “jajan” dan mabuk-mabukan, lalu setelah Rahayu besar dilalah malah menjadi bumerang bagi dirinya. Rahayu yang baru mengenal agama seperti dimabuk cinta dengan agamanya. Setelah membaca buku ini saya jadi mengerti, sepertinya kata-kata “mabuk agama lebih baik dibanding mabuk maksiat” yang biasa digaungkan oleh orang-orang yang sedang berapi-api mengaktualisasi diri perlu direvisi. Karena yang namanya mabuk adalah orang yang tak sadarkan diri, bukankah tak sadarkan diri baik perkara agama maupun maksiat menyebabkan dua hal ini menjadi sama bodohnya.
Penggunaan “Entrok” yang berarti Bra dalam bahasa Jawa juga menarik, karena pada nyatanya benda ini merupakan hal yang tidak terlepas dari wanita hingga saat ini. Entah digunakan karena dibutuhkan atau karena memang agar selaras dengan kehidupan sosial. Saya masih ingat ketika masih kecil, nenek saya biasa menyimpan uangnya di dalam Branya, penggunaan bra yang sekarang seperti keharusan karena wanita katanya harus bisa “menjaga diri”, menutupi hal-hal yang katanya akan mengundang hasrat lawan jenisnya. Bahkan di Islam sering disederhanakan bahwa wanita memang harus menggunakan hijab, karena itu kewajiban dan tidak boleh dipertanyakan, dan wanita yang islam namun tidak menggunakan hijab akan menjadi bualan orang–orang yang mengaku secara eksplisit maupun tidak, bahwa mereka religius. Seolah batas keyakinan terbatas pada selembar kain yang menutupi kepala, bukankah setiap orang berhak atas perjalanan spiritualnya masing-masing. Bahkan Tuhan masih mengizinkan seorang pelacur masuk ke Surganya hanya karena ia memberi air minum kepada seekor anjing.
Kehidupan Rahayu di buku ini mengingatkan saya dengan orang-orang yang sedang semangat belajar agama namun tidak dibarengi dengan rasa kemanusiaan, sehingga menempatkan hubungan kepada Tuhan di atas segalanya, ini seperti menampik keberadaan manusia sebagai penopang proses pengenalan Tuhan itu sendiri. Orang-orang seperti ini hidup di dalam dunianya sendiri, berpikir bahwa semua bisa dimanipulasi dengan embel-embel atas nama Tuhan atau melalui pelarian atas nama Ibadah. Seolah-olah tidak boleh ada sedikit kecacatan pun yang terjadi di muka bumi ini, semua harus sempurna berdasarkan ranah salah dan benar menurut agama. Lucunya, mengambil contoh seperti Al-Quran sebagai kitab suci saja tidak hanya membahas mengenai kebenaran dan kesalahan seorang hamba kepada tuhannya atau biasa disebut dengan fiqh. Kitab suci ini kompleks, di dalamnya ada cerita, sejarah, serta ilmu perihal kehidupan manusia yang lain. Fokus orang-orang yang kagok agama biasanya hanya berpusat pada halal dan haram, walaupun ini tidak serta merta salah, hanya saja menjadi salah ketika ia menjadikan dirinya hakim kebenaran seperti yang dilakukan Rahayu kepada Ibu dan lingkungan sekitarnya. Menariknya walaupun seperti sinetron, Rahayu akhirnya mampu mengenali dirinya dan mengerti bahwa memang individu dan kepercayaan seseorang adalah hak untuk orang tersebut, tidak dapat dihakimi ataupun dipaksa untuk sama, apalagi karakter Marni sebagai seorang ibu disini juga tidak pernah mengusik kepercayaan anaknya.
Benang merah pada buku selanjutnya “Pasung Jiwa” yaitu mengenai seorang laki-laki yang berpenampilan sebagai seorang wanita namun ia masih jatuh cinta pada seorang wanita, atau biasa sekarang disebut dengan transgender. Perjalanan Sasana yang kemudian bertemu dengan Cak Jek membuat ia mengerti sisi lain dari dirinya yang akhirnya ia beri nama Sasa, dan kemudian di satu waktu harus menghadapi Cak Jek yang juga baru belajar agama. Fenomena yang mirip dengan karakter Rahayu di buku “Entrok”. Kedua buku ini sebenarnya juga erat berkaitan dengan keadaan pra dan pasca Orde Baru yang berhubungan dengan sensitivitas pemerintah terhadap gerakan islam hingga akhirnya malah berkawal.
Karakter Sasa harus berhadapan dengan banyak pertentangan yang kontradiktif, sedangkan Cak Jek sama seperti Rahayu di buku “Entrok”, yang membedakan Cak Jek menjadi gila hormat dan mabuk agama setelah bergabung dengan suatu ormas. Ormas yang seperti kejadian akhir-akhir ini, banyak bermunculan ormas yang tidak tahu fungsinya apa, atau hanya aktif di saat penggerebekan warung saat puasa atau penggerebekan di diskotik dan hotel murah. Ormas yang bertopeng dengan agama atau bertameng budaya, lalu merasa memiliki hak untuk menjustifikasi “kesalahan” orang lain.
Salah satu hal yang saya suka dari buku Pasung Jiwa ini, ketika mba Okky menggambarkan kebiadaban “orang-orang suci ini” menghukumi perkara minuman keras, transgender, pelacuran atau hal lain yang mereka anggap sebagai “maksiat” itu adalah haram, namun ketika mereka yang mencicipi hal tersebut menjadi “halal”. Hanya karena mereka menganggap diri mereka sebagai polisi kebaikan.
Berbicara tentang transgender, batas norma kepada transgender hingga saat ini pun masih bias di kalangan masyarakat berbudaya timur ini. Terbukti dengan masih banyaknya anak lelaki yang kemayu akan dianggap lucu. Terlebih lagi, ketika di dunia hiburan seseorang yang mem-branding dirinya dengan branding transgender lebih mudah menarik perhatian publik dibandingkan yang “normal-normal” saja. Sedangkan di sisi lain, masyarakat menginginkan masyarakat yang bebas transgender. Hal yang sebenarnya tidak akan pernah ada ujungnya. Selain transgender, di buku ini juga dibahas mengenai PSK yang banyak mendapatkan ketimpangan sosial. PSK yang hidup di kalangan menengah ke bawah akan lebih mudah dikasuskan dibandingkan dengan PSK yang berkutat dengan orang-orang menengah ke atas. Dengan kata lain, mungkin mba Okky ingin menyampaikan melalui buku ini bahwa masyarakat kita menyukai plesiran yang katanya rendah dianggap secara moral, namun disisi lain juga ingin menghilangkannya.
Perkara budaya, agama, dan nasionalisme yang sangat gampang diaduk-aduk. Topik yang sering kali dibenturkan satu sama lain. Alih-alih mencari kesamaan antar subjek tersebut, lebih gampang untuk mencari perbedaan lalu menonjolkan diri dibanding yang lain. Semua berlomba ingin menjadi yang paling di-iyakan. Apalagi dengan bertambah majunya teknologi dan informasi, muncul pula ilmu sains yang sering dibenturkan pula dengan agama dan budaya. Kelas ilmuwan sering dianalogikan sebagai para atheis yang mencintai sains di atas segalanya, para agamawan dianggap sebagai orang-orang yang lupa pada akar budayanya, dan pegiat budaya sering dianggap sebagai orang-orang saklek yang tidak menerima perubahan, ditambah dengan rasa nasionalisme yang sering diungkit sebagai orang yang tidak menyentuh akar rumput karena berbicara hanya perihal negara. Pada akhirnya setiap orang memiliki prinsipnya masing-masing, sehingga tidak bisa dengan mudah antar individu atau kelompok dengan mudah menghakimi satu sama lain, apalagi sampai harus dibawa ke ranah yang tidak seharusnya.
Kalteng, 25-06-2025
No comments