Perut lapar, kepala pusing, dan kena penyakit maag, parahan dikit tipes, lebih parah lagi didiagnosis maag akut atau malah komplikasi. Syukur-syukur kalau bisa tahu penyakitnya apa, boro-boro mau berobat, tahu bahwa maag itu perlu diobati saja mungkin tidak tahu.
Begitulah gambaran masyarakat Indonesia di beberapa sudut kota madya dan kabupaten waktu itu yang pernah saya kunjungi bersama teman-teman. Sebagai makhluk sosial yang menyukai kegiatan sosial membuat saya memiliki beberapa akses untuk bertemu langsung dengan orang-orang seperti yang ada di paragraf pertama dan kebetulan waktu itu sasarannya adalah orang-orang tua yang hidup sebatang kara, atau jika pun hidup bersama keluarga, mereka hidup dalam kemiskinan struktural.
Kemiskinan struktural secara sederhana dapat diartikan sebagai kemiskinan yang terjadi secara turun temurun dalam satu keluarga. Mengapa kemiskinan struktural ini bisa terjadi? Karena dalam keluarga tersebut mereka tidak memiliki akses untuk mendapatkan hak-hak sebagai masyarakat dalam suatu negara, sehingga mereka berada dalam lingkarannya sendiri, budaya miskin itu sendiri.
Lalu bagaimana dengan motivator yang selalu menggaungkan bahwa bekerja keraslah agar mampu menjadi orang sukses. Sepertinya di tahun 2025 ini sudah saatnya orang-orang paling tidak dengan kalangan ekonomi menengah ke atas bisa membedakan antara motivasi dan omongan belaka. Setidaknya kalangan ini tidak tergolong orang-orang yang bingung besok bisa beli beras atau tidak. Sehingga, walaupun hidupnya tidak menyentuh akar rumput setidaknya isi otak bisa dikendalikan dan hidup tidak dalam pusaran nirempati.
Semakin kesini saya meyakini, ketika seseorang pernah berada pada masa kesulitan ekonomi atau setidaknya pernah berinteraksi lebih banyak atau seminimunnya pernah mengisi otaknya dengan hal-hal diluar kenyamanan hidup lalu memiliki jabatan di satu institusi ia akan mengalami fase lebih menghargai hal tersebut, mengenai hal itu akan konsisten atau tidak hanya Tuhan yang tahu. Karena bagaimanapun para pemangku kebijakan ini yang akan memberikan dampak pada orang-orang yang berada dibawahnya.
Kemiskinan dan kepintaran adalah dua hal yang tidak bisa selaras, mungkin ada kasus-kasus dimana seorang anak pemulung yang rajin membaca lewat koran hasil pulungannya, atau seorang anak tukang buat batako yang belajar dengan hikmat di malam hari menggunakan lampu semprong, namun kasus-kasus seperti ini tidak dapat dipungkiri persentasenya pasti lebih kecil daripada penerima bantuan sosial saat ini.
Seseorang yang otaknya dipenuhi rasa waspada dari cukup atau tidaknya uang hari ini, boro-boro memilih anaknya mau sekolah dimana, sekolah atau tidak mungkin juga ada di awang-awang. Hidup mereka seolah bisa mereka kontrol padahal tidak ada yang bisa mereka kontrol, itulah mengapa terdapat kemungkinan mengapa justru kebanyakan justru masyarakat miskin yang malah membludak angka kelahirannya dibandingkan dengan masyarakat dari kalangan diatasnya.
Karena satu-satunya harapan mereka adalah dengan memiliki anak, kemudian anak tersebut “seolah dibuat secara gambling” mana yang akan bisa melepaskan mereka suatu saat nanti dari rantai kemiskinan tersebut.
Hal yang sangat tidak membantu, adalah orang-orang yang tidak pernah menyentuh tanah ini, sekonyong-konyong dengan argumen sok kekotaannya menyalahkan kemiskinan struktural terjadi dikarenakan tidak adanya kemampuan dari keluarga tersebut untuk bekerja keras dan konsisten. Mereka lupa bahwa membuat bata dari pagi sampai sore dan membuka komputer dari pagi sampai sore pula adalah sama bekerja keras, namun apakah taraf ekonomi mereka sama dan nyatanya tidak.
Dengan semakin mudahnya akses informasi, semoga semakin bijak pula untuk bisa memiliki sudut pandang yang berbeda dari setiap masalah yang sedang ada di depan mata, dan jangan terbuat dengan algoritma teknologi yang selalu menyediakan sesuai keinginan kita. Sesekali mungkin perlu mencari sendiri hal yang tidak kita ketahui di dunia sendiri, tidak bisa secara langsung setidaknya bisa dibantu dengan teknologi. Dengan begitu, harapannya semakin banyak manusia yang bicaranya tidak hanya tentang cara mencari makan, makan, dan cari mencari makan lagi.
Kalteng, 30 Mei 2025.