Translate

Bebas


Belakangan lagi asyik-asyiknya membaca karyanya Okky Madhasari, entah kenapa rasanya terasa lebih mudah dicerna, entah karena saya sedang ujub merasa otak saya yang memang lagi encer atau memang mba Okky bisa dengan cantik menyusun kata-kata di buku-buku beliau.

Dua buku yang saya baca judulnya “Entrok” dan “Pasung Jiwa”. Dari dua buku ini saya mengerti topik ini memiliki benang merah yaitu keberanian untuk mati maupun hidup, sepertinya melihat latar belakang beliau sebagai wartawan yang idealis dapat dimaklumi sehingga buku-buku yang ditulis tidak jauh dari keadaan masyarakat Indonesia pada umumnya. Masyarakat marginal yang kadang justru direndahkan oleh sesamanya.

Buku “Entrok” menggambarkan Marni seorang ibu yang hidup dengan kepercayaan tradisional dan Rahayu yang hidup dengan prinsip agamisnya. Marni hidup mati-matian menghidupi dirinya bahkan walaupun sudah bersuami malah apes bertemu suami yang kerjanya hanya “jajan” dan mabuk-mabukan, lalu setelah Rahayu besar dilalah malah menjadi bumerang bagi dirinya. Rahayu yang baru mengenal agama seperti dimabuk cinta dengan agamanya. Setelah membaca buku ini saya jadi mengerti, sepertinya kata-kata “mabuk agama lebih baik dibanding mabuk maksiat” yang biasa digaungkan oleh orang-orang yang sedang berapi-api mengaktualisasi diri perlu direvisi. Karena yang namanya mabuk adalah orang yang tak sadarkan diri, bukankah tak sadarkan diri baik perkara agama maupun maksiat menyebabkan dua hal ini menjadi sama bodohnya.

Penggunaan “Entrok” yang berarti Bra dalam bahasa Jawa juga menarik, karena pada nyatanya benda ini merupakan hal yang tidak terlepas dari wanita hingga saat ini. Entah digunakan karena dibutuhkan atau karena memang agar selaras dengan kehidupan sosial. Saya masih ingat ketika masih kecil, nenek saya biasa menyimpan uangnya di dalam Branya, penggunaan bra yang sekarang seperti keharusan karena wanita katanya harus bisa “menjaga diri”, menutupi hal-hal yang katanya akan mengundang hasrat lawan jenisnya. Bahkan di Islam sering disederhanakan bahwa wanita memang harus menggunakan hijab, karena itu kewajiban dan tidak boleh dipertanyakan, dan wanita yang islam namun tidak menggunakan hijab akan menjadi bualan orang–orang yang mengaku secara eksplisit maupun tidak, bahwa mereka religius. Seolah batas keyakinan terbatas pada selembar kain yang menutupi kepala, bukankah setiap orang berhak atas perjalanan spiritualnya masing-masing. Bahkan Tuhan masih mengizinkan seorang pelacur masuk ke Surganya hanya karena ia memberi air minum kepada seekor anjing.

Kehidupan Rahayu di buku ini mengingatkan saya dengan orang-orang yang sedang semangat belajar agama namun tidak dibarengi dengan rasa kemanusiaan, sehingga menempatkan hubungan kepada Tuhan di atas segalanya, ini seperti menampik keberadaan manusia sebagai penopang proses pengenalan Tuhan itu sendiri. Orang-orang seperti ini hidup di dalam dunianya sendiri, berpikir bahwa semua bisa dimanipulasi dengan embel-embel atas nama Tuhan atau melalui pelarian atas nama Ibadah. Seolah-olah tidak boleh ada sedikit kecacatan pun yang terjadi di muka bumi ini, semua harus sempurna berdasarkan ranah salah dan benar menurut agama. Lucunya, mengambil contoh seperti Al-Quran sebagai kitab suci saja tidak hanya membahas mengenai kebenaran dan kesalahan seorang hamba kepada tuhannya atau biasa disebut dengan fiqh. Kitab suci ini kompleks, di dalamnya ada cerita, sejarah, serta ilmu perihal kehidupan manusia yang lain. Fokus orang-orang yang kagok agama biasanya hanya berpusat pada halal dan haram, walaupun ini tidak serta merta salah, hanya saja menjadi salah ketika ia menjadikan dirinya hakim kebenaran seperti yang dilakukan Rahayu kepada Ibu dan lingkungan sekitarnya. Menariknya walaupun seperti sinetron, Rahayu akhirnya mampu mengenali dirinya dan mengerti bahwa memang individu dan kepercayaan seseorang adalah hak untuk orang tersebut, tidak dapat dihakimi ataupun dipaksa untuk sama, apalagi karakter Marni sebagai seorang ibu disini juga tidak pernah mengusik kepercayaan anaknya. 

Benang merah pada buku selanjutnya “Pasung Jiwa” yaitu mengenai seorang laki-laki yang berpenampilan sebagai seorang wanita namun ia masih jatuh cinta pada seorang wanita, atau biasa sekarang disebut dengan transgender. Perjalanan Sasana yang kemudian bertemu dengan Cak Jek membuat ia mengerti sisi lain dari dirinya yang akhirnya ia beri nama Sasa, dan kemudian di satu waktu harus menghadapi Cak Jek yang juga baru belajar agama. Fenomena yang mirip dengan karakter Rahayu di buku “Entrok”. Kedua buku ini sebenarnya juga erat berkaitan dengan keadaan pra dan pasca Orde Baru yang berhubungan dengan sensitivitas pemerintah terhadap gerakan islam hingga akhirnya malah berkawal. 

Karakter Sasa harus berhadapan dengan banyak pertentangan yang kontradiktif, sedangkan Cak Jek sama seperti Rahayu di buku “Entrok”, yang membedakan Cak Jek menjadi gila hormat dan mabuk agama setelah bergabung dengan suatu ormas. Ormas yang seperti kejadian akhir-akhir ini, banyak bermunculan ormas yang tidak tahu fungsinya apa, atau hanya aktif di saat penggerebekan warung saat puasa atau penggerebekan di diskotik dan hotel murah. Ormas yang bertopeng dengan agama atau bertameng budaya, lalu merasa memiliki hak untuk menjustifikasi “kesalahan” orang lain. 

Salah satu hal yang saya suka dari buku Pasung Jiwa ini, ketika mba Okky menggambarkan kebiadaban “orang-orang suci ini” menghukumi perkara minuman keras, transgender, pelacuran atau hal lain yang mereka anggap sebagai “maksiat” itu adalah haram, namun ketika mereka yang mencicipi hal tersebut menjadi “halal”. Hanya karena mereka menganggap diri mereka sebagai polisi kebaikan.

Berbicara tentang transgender, batas norma kepada transgender hingga saat ini pun masih bias di kalangan masyarakat berbudaya timur ini. Terbukti dengan masih banyaknya anak lelaki yang kemayu akan dianggap lucu. Terlebih lagi, ketika di dunia hiburan seseorang yang mem-branding dirinya dengan branding transgender lebih mudah menarik perhatian publik dibandingkan yang “normal-normal” saja. Sedangkan di sisi lain, masyarakat menginginkan masyarakat yang bebas transgender. Hal yang sebenarnya tidak akan pernah ada ujungnya. Selain transgender, di buku ini juga dibahas mengenai PSK yang banyak mendapatkan ketimpangan sosial. PSK yang hidup di kalangan menengah ke bawah akan lebih mudah dikasuskan dibandingkan dengan PSK yang berkutat dengan orang-orang menengah ke atas. Dengan kata lain, mungkin mba Okky ingin menyampaikan melalui buku ini bahwa masyarakat kita menyukai plesiran yang katanya rendah dianggap secara moral, namun disisi lain juga ingin menghilangkannya. 

Perkara budaya, agama, dan nasionalisme yang sangat gampang diaduk-aduk. Topik yang sering kali dibenturkan satu sama lain. Alih-alih mencari kesamaan antar subjek tersebut, lebih gampang untuk mencari perbedaan lalu menonjolkan diri dibanding yang lain. Semua berlomba ingin menjadi yang paling di-iyakan. Apalagi dengan bertambah majunya teknologi dan informasi, muncul pula ilmu sains yang sering dibenturkan pula dengan agama dan budaya. Kelas ilmuwan sering dianalogikan sebagai para atheis yang mencintai sains di atas segalanya, para agamawan dianggap sebagai orang-orang yang lupa pada akar budayanya, dan pegiat budaya sering dianggap sebagai orang-orang saklek yang tidak menerima perubahan, ditambah dengan rasa nasionalisme yang sering diungkit sebagai orang yang tidak menyentuh akar rumput karena berbicara hanya perihal negara. Pada akhirnya setiap orang memiliki prinsipnya masing-masing, sehingga tidak bisa dengan mudah antar individu atau kelompok dengan mudah menghakimi satu sama lain, apalagi sampai harus dibawa ke ranah yang tidak seharusnya.


Kalteng, 25-06-2025





Kapan Bicara selain Makan


Perut lapar, kepala pusing, dan kena penyakit maag, parahan dikit tipes, lebih parah lagi didiagnosis maag akut atau malah komplikasi. Syukur-syukur kalau bisa tahu penyakitnya apa, boro-boro mau berobat, tahu bahwa maag itu perlu diobati saja mungkin tidak tahu. 

Begitulah gambaran masyarakat Indonesia di beberapa sudut kota madya dan kabupaten waktu itu yang pernah saya kunjungi bersama teman-teman. Sebagai makhluk sosial yang menyukai kegiatan sosial membuat saya memiliki beberapa akses untuk bertemu langsung dengan orang-orang seperti yang ada di paragraf pertama dan kebetulan waktu itu sasarannya adalah orang-orang tua yang hidup sebatang kara, atau jika pun hidup bersama keluarga, mereka hidup dalam kemiskinan struktural.

Kemiskinan struktural secara sederhana dapat diartikan sebagai kemiskinan yang terjadi secara turun temurun dalam satu keluarga. Mengapa kemiskinan struktural ini bisa terjadi? Karena dalam keluarga tersebut mereka tidak memiliki akses untuk mendapatkan hak-hak sebagai masyarakat dalam suatu negara, sehingga mereka berada dalam lingkarannya sendiri, budaya miskin itu sendiri. 

Lalu bagaimana dengan motivator yang selalu menggaungkan bahwa bekerja keraslah agar mampu menjadi orang sukses. Sepertinya di tahun 2025 ini sudah saatnya orang-orang paling tidak dengan kalangan ekonomi menengah ke atas bisa membedakan antara motivasi dan omongan belaka. Setidaknya kalangan ini tidak tergolong orang-orang yang bingung besok bisa beli beras atau tidak. Sehingga, walaupun hidupnya tidak menyentuh akar rumput setidaknya isi otak bisa dikendalikan dan hidup tidak dalam pusaran nirempati.

Semakin kesini saya meyakini, ketika seseorang pernah berada pada masa kesulitan ekonomi atau setidaknya pernah berinteraksi lebih banyak atau seminimunnya pernah mengisi otaknya dengan hal-hal diluar kenyamanan hidup lalu memiliki jabatan di satu institusi ia akan mengalami fase lebih menghargai hal tersebut, mengenai hal itu akan konsisten atau tidak hanya Tuhan yang tahu. Karena bagaimanapun para pemangku kebijakan ini yang akan memberikan dampak pada orang-orang yang berada dibawahnya.

Kemiskinan dan kepintaran adalah dua hal yang tidak bisa selaras, mungkin ada kasus-kasus dimana seorang anak pemulung yang rajin membaca lewat koran hasil pulungannya, atau seorang anak tukang buat batako yang belajar dengan hikmat di malam hari menggunakan lampu semprong, namun kasus-kasus seperti ini tidak dapat dipungkiri persentasenya pasti lebih kecil daripada penerima bantuan sosial saat ini.

Seseorang yang otaknya dipenuhi rasa waspada dari cukup atau tidaknya uang hari ini, boro-boro memilih anaknya mau sekolah dimana, sekolah atau tidak mungkin juga ada di awang-awang. Hidup mereka seolah bisa mereka kontrol padahal tidak ada yang bisa mereka kontrol, itulah mengapa terdapat kemungkinan mengapa justru kebanyakan justru masyarakat miskin yang malah membludak angka kelahirannya dibandingkan dengan masyarakat dari kalangan diatasnya. 

Karena satu-satunya harapan mereka adalah dengan memiliki anak, kemudian anak tersebut “seolah dibuat secara gambling” mana yang akan bisa melepaskan mereka suatu saat nanti dari rantai kemiskinan tersebut. 

Hal yang sangat tidak membantu, adalah orang-orang yang tidak pernah menyentuh tanah ini, sekonyong-konyong dengan argumen sok kekotaannya menyalahkan kemiskinan struktural terjadi dikarenakan tidak adanya kemampuan dari keluarga tersebut untuk bekerja keras dan konsisten. Mereka lupa bahwa membuat bata dari pagi sampai sore dan membuka komputer dari pagi sampai sore pula adalah sama bekerja keras, namun apakah taraf ekonomi mereka sama dan nyatanya tidak.

Dengan semakin mudahnya akses informasi, semoga semakin bijak pula untuk bisa memiliki sudut pandang yang berbeda dari setiap masalah yang sedang ada di depan mata, dan jangan terbuat dengan algoritma teknologi yang selalu menyediakan sesuai keinginan kita. Sesekali mungkin perlu mencari sendiri hal yang tidak kita ketahui di dunia sendiri, tidak bisa secara langsung setidaknya bisa dibantu dengan teknologi. Dengan begitu, harapannya semakin banyak manusia yang bicaranya tidak hanya tentang cara mencari makan, makan, dan cari mencari makan lagi.

Kalteng, 30 Mei 2025.


Kelompok

 

Sedari kecil manusia diajari agar bisa memiliki hubungan yang baik antar sesama, dan terbiasa hidup berkoloni dengan orang-orang yang memiliki selera atas hal yang sama. Semakin dewasa saya malah mengerti bahwa poin ini sepertinya tidak bisa diterapkan selamanya, nyatanya memiliki pertemanan yang beragam sehingga memiliki pandangan hidup yang beragam pula lebih membantu untuk bisa bertahan hidup. Kebiasaan berkoloni sebenarnya bukan hal yang baru bagi manusia. Dari zaman prasejarah, manusia juga terbiasa hidup berkelompok dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Hal ini dilakukan agar bisa mendapatkan makanan atau merasa aman karena hidup tidak merasa sendiri. Sehingga bukan hal yang baru jika hingga saat ini manusia masih menerapkan pola hidup berkelompok hampir di semua lini.

Tidak ada yang salah dengan keinginan untuk memiliki satu lingkaran pertemanan atau kelompok, hanya saja bisa berpotensi menjadi masalah ketika ada perasaan merasa lebih unggul, atau bahkan lebih parah menjadikan perasaan solidaritas ini sebagai sarana untuk menyerang individu atau kelompok lainnya yang berbeda. Fenomena maraknya pembentukan kelompok seperti organisasi masyarakat juga sudah menjadi hal yang biasa. Kemampuan "menjual diri" ketika terlibat dalam suatu organisasi juga sudah menjadi hal lumrah. Di satu sisi hal ini memudahkan seseorang untuk mengenali orang lain melalui organisasi yang ia ikuti. Namun dapat menjadi masalah ketika seseorang tidak lagi bisa memiliki identitas untuk dirinya sendiri karena terlalu bergantung dengan organisasi yang ia ikuti. Seperti berita-berita yang akhir ini ramai dibicarakan banyak ormas-ormas yang menempatkan dirinya setara atau bahkan lebih dari institusi resmi pemerintah. Selain karena ada "pasar" yang meminta mereka untuk tetap ada dan banyaknya orang-orang yang tertarik untuk bergabung hanya karena perasaan eksis menjadi bagian dari sesuatu.

Mengapa bisa dikatakan hanya karena perasaan eksis. Kenyataannya, banyak orang-orang yang bergabung dalam suatu organisasi hanya karena euphoria proses kaderisasi, atau jika ia loyal dalam organisasi tersebut ia tidak mempertanyakan dirinya mengapa ia loyal. Jika muncul pertanyaan mengapa harus ribet ketika kita ingin berbuat baik? Bukankah bergabung dan berbuat sesuatu yang baik secara bersama itu adalah hal yang baik pula. Hemat saya, penyederhaan cara berpikir ini akhirnya banyak melahirkan organisasi yang diisi oleh orang jujur dan baik di kalangan eksekutifnya namun akhirnya bobrok di kalangan atas. Seperti kejadian organisasi-organisasi amal yang dipercaya sebagai penyalur kebaikan malah berakhir hanya memperkaya kalangan elitnya, atau sesederhana organisasi kampus yang menadah pada dewan penasihatnya tanpa mau bersama membuat pembenahan baru, atau memperkokoh ulang dasar dibuat organisasi tersebut seperti apakah  masih relevan atau tidak dengan  yang dijalani saat ini.

Saat ini bahkan terdapat kebijakan di kampus-kampus tertentu, bahwa setiap mahasiswa wajib mengikuti paling tidak satu organisasi mahasiswa atau biasa disebut ormawa. Tertulis maupun tidak, biasanya di awal masuk mahasiswa akan bertemu banyak kakak tingkat yang menawarkan mahasiswa baru ini untuk bergabung pada organisasi tertentu, entah dalam rangka hanya untuk menambah kuantitas dalam organisasi atau memang benar memerlukan penerus dari organisasi tersebut. Sebagai seseorang yang pernah memiliki hobi bergabung dengan banyak organisasi, saya tidak memungkiri bahwa kebiasaan ini menjadi jalan saya untuk mengenal orang dari berbagai kalangan dan usia. Hanya saja, berdasarkan pengalaman pribadi ketika seseorang sudah jatuh cinta dengan organisasi yang ia ikuti, orang tersebut berpotensi taklid terhadap apapun yang organisasinya katakan, layaknya hidup di dalam bubble sendiri, dan terkadang kehilangan identitasnya sendiri. Mungkin bisa jadi woro-woro mengenai pentingnya organisasi di kalangan mahasiswa maupun khalayak umum dapat dibarengi dengan pengkaderan yang jelas dan menghilangkan self-centered berlebih, sehingga ketika mendapat gesekan atau pendapat berbeda dari luar, hal tersebut dapat dengan legowo dipandang sebagai sudut pandang yang berbeda bukan malah menjadi titik awal perang beda pendapat yang tidak sehat, dan keabsahan suatu komunitas atau organisasi dapat dipandang sebagai sesuatu yang sedemikian rupa pentingnya. Karena semakin mudah sesuatu dibentuk bukankah justru potensi hancurnya juga akan semakin mudah, dan bagi yang sampai saat ini sudah terlibat dengan banyak kelompok atau komunitas yang dianggap baik semoga bisa tetap memiliki jati diri dan tidak takut memiliki perbedaan pendapat dalam satu lingkaran tersebut, hanya karena takut tidak dianggap dalam lingkaran tersebut lagi.

Subuh di Kalteng, 27 Mei 2025.


Kenal

 


    Saat seseorang mengingat nama seseorang apakah sudah dianggap kenal. Kenal sendiri menurut KBBI merupakan keadaan dimana seseorang mengetahui orang lain baik dalam kadar yang dangkal maupun dalam, oleh karenanya kadang ada kalimat seseorang sekadar mengenal atau sudah benar-benar mengenal orang tersebut. Namun berbicara tentang proses mengenali yang sering dikaitkan dengan orang lain, ternyata ada yang mungkin lebih menarik yaitu mengenali diri sendiri. 

Berawal dari rasa penasaran saat melihat kasus depresi yang banyak meningkat bahkan dari lingkungan pertemanan dari yang normal dan ada juga yang aneh seperti fenomena oknum mendiagnosis diri sendiri dengan menaruh kata "bipolar" di bio sosial media pribadi, serta lingkungan pertemanan yang tidak represif terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kata depresi. Saya juga membaca beberapa kasus khususnya di Banjarbaru yang notabene merupakan Kota madyanya Kalimantan Selatan kala itu dan menemukan bahwa terdapat anak-anak remaja yang memutuskan bunuh diri. Jika dipandang secara kasat mata mungkin kita hanya akan berkata apa yang menyebabkan anak-anak ini sampai akhirnya bisa memutuskan bunuh diri padahal tidak tinggal di kota besar, tekanan hidup mereka juga mungkin tidak besar karena mereka hanya anak remaja. Padahal pandangan dangkal semacam ini yang bisa jadi pemicu anak-anak yang "kita anggap tidak mempunyai masalah berarti tersebut". Hal yang luput dari pandangan adalah mungkin anak ini bisa jadi bukan tinggal di Kota Besar tapi informasi yang dia terima dari telepon genggam yang digadang sebagai "smart phone" itu bisa jadi melebihi dari kapasitas otak anak tersebut atau apesnya anak ini hidup di lingkungan yang tidak mengerti bahwa manusia stress tidak selalu berkaitan dengan keimanan seseorang. Rasa penasaran saya akhirnya terjawab pada saat membaca buku Alasan untuk Tetap Hidup serta Series buku I Want to Die But I Want to Eat Tteokpokki, di dua buku ini saya mengerti bahwa memang ada manusia yang sebegitu diaturnya oleh apa yang didalam otaknya yang mana ini dapat dipengaruhi banyak faktor dapat berasal dari rasa takut dirundung karena pilihan yang berbeda, tuntutan masyarakat dengan segala normanya, atau bahkan trauma pada hal-hal dasar seperti pembulian, tidak kekerasan seksual maupun cara didik orang tua uniknya jawaban dari seseorang ketika ia ingin bertahan hidup sesederhana masih ingin mencoba makanan baru atau tempat baru.

Dengan kondisi negara yang memiliki jumlah penduduk lebih dari 270 juta ini pastinya tidak bisa berharap lebih kepada pemerintah, walaupun bersikap apatis juga bukan hal yang benar, toh harga telur saja berdampak dari kebijakan pemerintah. Sejatinya setiap individu itu memiliki kewajiban untuk mengenali dirinya sendiri, walaupun hal ini tidak bisa dihitung dengan persentase yang presisi alias pas banget. Karena manusia itu dari dulu adalah makhluk sosial maka yang menjadi tolok ukur adalah destruktif atau tidaknya ketika seseorang tidak bisa mengenali dirinya. Mengenali diri disini adalah kemampuan seseorang untuk berdiri sendiri sebagai seorang manusia dan sesederhana mengetahui apakah ia sedang marah, senang, sedih atau sedang mati rasa, dalam bahasa yang lebih singkat adalah ia mengerti emosi yang sedang ia alami, dan tahu cara untuk mengekspresikan emosi tersebut. Kebiasaan orang Indonesia yang nggah nggeh sebenarnya dapat menjadi tameng yang bagus untuk mempertahankan budaya ketimuran namun ketika sudah berlebih justru bisa menjadi bumerang. Manusia sebagai makhluk yang kompleks tidak bisa dinilai hanya berdasarkan benar atau salah apalagi jika hal ini sudah dikaitkan dengan pengelolaan emosi masing-masing individu. Beberapa orang perlu waktu ketika ingin menyelesaikan masalah dengan cara mungkin mengasingkan diri dari keramaian sedangkan beberapa yang lain mungkin tidak menyukai masalah yang tertunda penyelesaiannya. Hal sederhana ini justru bisa menjadi masalah besar seperti kasus anak remaja yang memutuskan bunuh diri dengan meninggalkan surat wasiat bahwa tidak lulus ujian atau putus dari pacar. Jika dihakimi secara gampang ditengah masyarakat yang feodal maka akan muncul argumentasi seperti kedua anak ini tidak beriman atau tidak pandai bersyukur, jika ditarik lebih jauh mengapa permasalahan semacam ini tak mampu dikomunikasikan sampai harus berakhir pada mengakhiri hidup, seburuk itukah kemampuan anak remaja untuk mengelola emosi, bukankah generasi ini pula yang dicanang menjadi generasi emas 2045. Sepertinya mimpi untuk mendapatkan generasi emas di 2045 cukup jadi mimpi jika hanya untuk mengatakan bahwa ujian itu membuat stress saja seorang anak harus mengakhiri hidup.

Perkara mengenali diri sendiri tidak pernah ada batasan untuk setiap skala umur baik tua maupun muda dan bagi yang memiliki uang berlebih mungkin bisa dialokasikan ke psikolog atau ditengah ekonomi yang sulit ini paling minim adalah dengan cara memilah informasi yang masuk ke otak atau jika dikaruniai pasangan yang bisa saling mengerti juga sebuah privilige. Karena manusia itu terbentuk dari apa yang ia lihat dan dengar, dan informasi yang berulang dimasukkan ke dalam otak berpotensi akan menjadi bagian dari pribadi seseorang. Mungkin ada benarnya perkataan bahwa semua berawal dari pikiran, yang mana pikiran ini selalu berkaitan dengan emosi. Walaupun argumen ini juga bisa didebat karena tidak bisa sesuatu yang kompleks hanya ditanggapi dengan itu hanya pikiran saja. Hal yang saya dapat setelah memutuskan untuk lebih terbuka tentang perasaan saya adalah saya mengerti ketika manusia bisa seterbuka itu dengan seseorang ketika dia merasa aman dan nyaman dengan seseorang dan bisa lebih memetakan pola pikir serta hal-hal yang terlihat kompleks itu, Evita kecil mungkin akan menjadi suporter paling heboh ketika tahu bahwa sekarang bisa berdamai dengan banyak hal dan sekarang bertemu bapak negara yang sabarnya patut diapresiasi karena mampu menghadapi segala macam pertanyaan penting dan tidak penting dari si Evita ini. 

Proses pengenalan diri sendiri juga merupakan proses sepanjang masa sama setaranya dengan pengenalan seseorang terhadap yang diluar dirinya seperti pasangan, keluarga, lingkungan dan hal lainnya. Semoga ketika semakin banyak orang waras yang mengerti dirinya ditengah kondisi yang bagaimanapun akhirnya tetap bisa bertahan karena ia masih menemukan orang waras lainnya. 

Kalteng, 24 Mei 2025.


Perempuan

Konon katanya wanita muncul setelah adanya Nabi Adam di Surga dan karena wanita pula akhirnya Nabi Adam diturunkan dari Surga. Pandangan seperti ini yang biasanya dijadikan bahan becandaan kaum laki-laki bahwa tumpu kesalahan manusia saat ini tidak berada di surga adalah karena wanita, mungkin oknum-oknum itu lupa bahwa karena hal tersebut juga saat ini ada peradaban yang membuat manusia sekarang bisa merasakan dunia, *Win-win argumen* perempuan dan laki-laki saling melengkapi.

Laki-laki yang menjual agama atau bertameng agama dibalik sifat maskulin berlebih kadang malah menjadi sumber penyakit di kalangan masyarakat terutama masyarakat menengah ke bawah. Saat ini kasus pelecehan seksual tidak hanya terjadi terhadap wanita di luar keluarga bahkan banyak kasus terhadap saudara bahkan anak kandung sendiri. Banyak faktor mungkin yang bisa menjadi penyebab seseorang bisa memuaskan hasrat seksual hingga memutuskan bertindak menyalahi norma yang berlaku. Lagi-lagi mungkin adalah kemudahan akses informasi dan kemampuan seseorang untuk mengolah informasi tersebut, terutama pada masyarakat dengan kemiskinan struktural yang jangankan memiliki akses pendidikan memadai untuk memenuhi isi perut saja perlu memutar otak berulang kali.

Hal yang kontradiktif, memang terkadang lebih baik bisa menonton youtube dan tiktok dibandingkan memikirkan bagaimana caranya agar dapur tetap menyala. Disaat yang bersamaan konten-konten potongan ceramah agama yang tidak komprehensif sangat mudah diakses mengakibatkan tumbuhnya masyarakat ekstrimis agamis dan atau patriarkis.

Orang-orang dengan sifat ekstrimis agamis dan atau patriarkis ini akan membenarkan dengan menjadikan wanita sebagai objek untuk laki-laki. Poin yang ingin disampaikan adalah bukan serta merta menjadikan wanita sebagai imam dalam sebuah agama, namun memastikan wanita juga berhak untuk merasa aman dan tidak terintimidasi ketika berada di lingkungan laki-laki. Contoh kecil ada yang melakukan pembenaran bahwa wanita harus tunduk dan patuh seperti yang dilakukan Asiyah terhadap Firaun, pemahaman seperti ini akan terjadi jika dilakukan hanya mendapat sebagian informasi, pada kenyataannya Asiyah tidak pernah tunduk terhdap Firaun, bahkan pernikahan yang dilakukan juga secara paksa, dan Asiyah tidak pernah mengakui Firaun sebagai Tuhan. Justru keberdayaan Asiyah disini adalah ia tetap berpegang pada prinsipnya sama seperti Firdaus dalam buku Perempuan di Titik Nol yang memutuskan untuk mengambil hukuman mati dibandingkan harus berkompromi dengan para penggila maskulin itu.

Solusinya mungkin adalah perempuan jangan lagi dipandang hanya sebagai si yang harus tunduk dan yang harus patuh, namun diberikan hak untuk bersuara. Sejatinya, baik perempuan dan laki-laki memiliki pakemnya masing-masing namun hal ini tidak menjadikan alasannya bahwa satu kaum berhak menyudutkan kaum lainnya.

Kalteng, 18 Mei 2025.

Seblak

You know when you get angry, and you just want to blurt things out—whether it's just regular anger or you're completely pissed off? I always wonder why, when I’m upset about something or when I’m around my loved ones, it feels like my brain just shuts off and I can’t think clearly. Do other people experience the same thing? Maybe it's a pattern—like when you're in danger or just too comfortable with someone. Or maybe it happens when you’re low on energy, and suddenly you crave Seblak or something really sweet.

I’ve been curious about this and wanted to understand it better. So, the hypothalamus plays a big role here. When you get angry at something or someone, the hypothalamus is like the boss that indirectly tells the adrenal glands to produce cortisol. But even before the hypothalamus acts, there’s an even bigger boss—the amygdala. It’s the one that kicks off the whole reaction by alerting the hypothalamus.

Once cortisol gets produced by the adrenal glands, it affects the prefrontal cortex, which is the part of the brain responsible for decision-making and emotional regulation. When the prefrontal cortex gets overwhelmed by cortisol, that’s when our thinking becomes unclear and impulsive. And that explains a lot.

Now, about the feeling part—emotions. That’s why Seblak, sweet things like chocolate, or even impulsive shopping feel so good when we’re stressed, angry, or upset. Those things trick our brain into thinking the pain or stress is over. But once we’re done eating or buying stuff, we realize it didn’t really help that much.

The only way to avoid feeling “dumb” when we’re angry is to take a step back—maybe take a deep breath, write it out, or sing it out. There are so many ways to release emotions in a non-destructive way. Sure, Seblak might help for a moment, but it’s not a long-term solution.

Just a random thought, but I truly believe that sometimes when we’re upset, stressed, or angry, it’s not really about the person or the thing—we’re just mad at the situation that feels out of our control. As humans, we naturally want peace, and we hate it when someone or something messes with that. That’s why we need to face the real problem, not just what we think is the problem.

So the answer only for the angry part, for the women's brain get turned off like "a bit dumb" when she's around her loved ones maybe onto the next writing.

Cuaca terik panas 

Kalteng, May 18th 2025 


Kebenaran

Semakin seseorang mencari hal yang benar dan yang salah maka pasti semakin banyak opsi yang akan berakhir pada area abu-abu alias benar atau tidak. Saya meyakini bahwa kebenaran adalah sesuatu yang kompleks, karena sekalipun seseorang mengatakan dirinya memiliki prinsip lalu berpegang pada hal tersebut lantas memaksa orang lain untuk meyakini apa yang menurut dia benar, sejatinya ia sudah ragu bahwa apa yang dia yakini adalah kebenaran.

Seseorang yang meyakini suatu kebenaran tak payah berusaha sampai tahap memaksa hanya untuk mencari teman hingga merasa tak sendiri. Konsep berjamaah dalam kebenaran memang bukan hal yang salah, bahkan dianjurkan jika ditinjau dari sudut pandang agama. Karena agama sendiri konsepnya adalah kebenaran yang disebarkan agar dapat diaminkan bersama.

Mengapa saya mengambil contoh agama mungkin spesifik agama islam, karena saya juga menganut agama islam dan di agama ini konsep berjamaah merupakan konsep yang dijunjung tinggi. Hal itu tergambar dari pemahaman pahala yang berlipat ganda ketika seseorang mampu melakukan kebaikan secara bersama-sama.

Hanya saja saat ini rasanya karena semakin mudah mengakses informasi semua orang ingin menganggap dirinya benar dan ingin orang lain mengikuti hal tersebut. Keinginan untuk diakui eksistensinya baik di sosial media hingga terbawa ke dunia nyata tentu bukan hal yang baik, apalagi jika ternyata informasi yang didapat hanya hasil dari scroll informasi berjam-jam tanpa ada pemahaman yang komprehensif, yang mana dengan kedangkalan tersebut sudah merasa berhak untuk menghakimi orang yang berbeda dengan "kebenaran" yang ia miliki.

Katakanlah seseorang memang belajar di suatu tempat dengan guru yang menurutnya benar, atau sudah membaca buku dengan jumlah banyak, namun jika yang dilakukan adalah *taqlid buta* atau bahasa sederhananya adalah mengikuti tanpa bertanya, bukankah itu mencacati konsep kebenaran itu sendiri. Hemat saya, semakin seseorang mengerti akan sesuatu maka semakin ia mengerti bahwa pasti semakin banyak perbedaan yang akan ia temui, dan dengan legowo menerima bahwa memang bumi tidak berputar di satu pusaran. 

Jika konsep yang digadang adalah *kami dengar dan kami taati*. Konsep ini tidak salah, namun akan menjadi salah ketika semua lini harus disederhanakan dengan satu konsep saja. Bukankah manusia juga memiliki akal untuk berpikir setiap kali ia melihat atau mendengar sesuatu. Kembali lagi, yang membuat aneh konsep kebenaran saat ini adalah karena semua ingin serba disederhanakan baik dari cara berpikir maupun saat proses penerapannya.

Semoga seiring berjalannya waktu manusia termasuk saya juga yang juga manusia mampu lebih bijak baik menerima dan memberi informasi yang semampu akal untuk berpikir itu adalah hal yang benar.

TOLERANSI

Kerusuhan atau pertengkaran adalah hal-hal yang biasa terjadi ketika seorang atau sekelompok individu melewati batas toleransi individu atau kelompok lainnya. Namun, jika ditarik lebih sempit ada pula toleransi pada diri sendiri yaitu ketika manusia memiliki batas toleransi terhadap diri sendiri baik secara fisik maupun psikis.

Meminjam kata dr. Jiemi Ardian seorang psikiater penulis buku Merawat Luka Batin yang mengatakan bahwa "Manusia dengan jendela toleransi yang baik akan memiliki hubungan emosi yang baik terhadap dirinya dan orang lain", mungkin bahasa yang lebih mudahnya adalah individu yang memiliki sikap "ya sudahlah" terhadap pada berbagai kondisi akan lebih mudah beradaptasi dibandingkan dengan individu yang terbiasa detail dengan segala macam kondisi.

Agaknya saat ini toleransi telah menjadi kebutuhan seseorang agar dapat hidup tenang ditengah masifnya arus informasi terutama sosial media, namun yang menjadi pertanyaan apakah ada batasan tertentu sehingga tidak menjadi seseorang yang permisif atau malah sebaliknya malah berujung menjadi apatis. 

Kemampuan toleransi terutama di Indonesia lebih sering dikaitkan dengan toleransi beragama maupun berbudaya, padahal ada hal mendasar dari kedua subjek tersebut adalah toleransi politik seseorang baik penerapannya kepada dirinya sendiri ataupun bagaimana cara orang tersebut menyikapi ketika ada yang berbeda pandangan politik dengannya.

Hidup berpindah-pindah dari kota, desa, kota lalu kembali ke desa lagi membuat saya mengerti bahwa kemungkinan besar definisi politik di masyarakat luas terutama di daerah pedesaan adalah kegiatan yang hanya terjadi saat pemilihan umum dan setelah itu selesai, nyatanya sesederhana lonjakan harga cabe di paman sayur juga dampak dari adanya politik.

Anak-anak di negara berkembang dan dididik agar bisa mendapatkan nilai bagus tanpa rasa kepekaan sosial juga justru kadang hanya menjadi bumerang lalu berakhir menjadi bagian dari gerombolan yang tidak bisa berpikir. Walaupun juga tidak bisa disalahkan, karena ketika perut seseorang kosong, jangankan bicara politik yang ada hanya generasi beranak pinak hanya untuk menjadi sebuah investasi karena tak mampu berdaya lagi atau bahkan berharap pada bagian elit sebuah negara.

Mungkin cara termudah agar bisa mentoleransi tetap waras dikala masih perlu informasi namun tidak berujung berlebihan, adalah mengenali diri sendiri dan membatasi untuk hal-hal yang dirasa tidak perlu, dan pastinya tetap menonton dan membaca hal-hal lucu dan bisa menggunakan dengan baik ujaran "Kita tidak butuh orang pintar namun kita butuh orang baik". Kata-kata yang bagus namun jika disalahgunakan bisa menjadi permisif terhadap kemalasan untuk berpikir.

Seperti kata imam Al Ghazali menukil perkataannya Syekh Al-Kholil bin Ahmad yaitu manusia itu terbagi menjadi empat jenis, (1) Orang yang berilmu dan sadar bahwa dirinya berilmu, (2) Orang yang berilmu namun tidak sadar bahwa dia berilmu, (3) Orang yang tidak berilmu dan sadar bahwa dirinya tidak berilmu, dan yang terakhir (4) Orang yang tidak berilmu dan tidak sadar bahwa dirinya tidak berilmu.

Dari keempat poin tersebut satu hal yang berkaitan adalah seseorang harus mengetahui dirinya agar tidak menjadi tingkatan terendah manusia yang tidak sadar dirinya tidak tahu apa-apa parahnya berujung mengakui dirinya mengetahui atau bahasa sederhananya sok tahu.

Karena ketika seseorang ingin mentoleransi sesuatu maka modal awal adalah tahu hal apa yang akan ditoleransi serta konsekuensinya, dan hal ini tidak akan bisa terjadi jika wadahnya tidak ada atau sudah penuh terlebih dahulu.

Tulisan ini terinspirasi dari tulisan Azi yang berjudul Baik.

Kalteng, 5 Mei 2025.

Standar Ganda Bahasa



"One, two, three, and four" adalah empat kata bahasa inggris untuk menyebutkan angka satu, dua, tiga, dan empat. Penggunaan bahasa inggris dalam kehidupan sehari-hari saat ini tidak dapat dipungkiri bahwa tidak dapat diindahkan lagi, terutama dalam dunia bisnis makanan, korporat dan politik. Contoh sederhana adalah penggunaan kata yang sering digunakan adalah istilah delivery untuk menyatakan apakah makanan bisa dilakukan pengantaran dan penggunaan banyak menu makanan yang di barat-baratkan seperti Fried Rice yang berarti Nasi Goreng atau Fried Chicken yang berarti ayam goreng atau bahkan dalam dunia korporat istilah noted untuk menyatakan bahwa tugas sudah tercatat dan done berarti pekerjaan telah selesai.

Pencampuran bahasa inggris dan Indonesia yang seperti dua belah mata pisau ini jika tidak dikontrol maka dapat berdampak serius pada hilangnya bahasa ibu baik bahasa daerah maupun bahasa Indonesia. Sebagai penutur Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris secara komunikatif, saya mengakui karena pembiasaan dari awal belajar Bahasa Inggris adalah dengan mencampurkan kedua bahasa ini berujung akhirnya miskin kosakata dan tidak jarang mengalami kesulitan untuk mengingat bahasa "sendiri". Sekali waktu saya pernah diskusi dengan abah bahwa salah satu cara menguasai bahasa adalah dengan meluangkan waktu selama periode tertentu dan berfokus pada bahasa tersebut, sayangnya saat itu saya belum mengerti mengapa beliau yang sudah terbiasa menggunakan Bahasa Inggris tidak pernah menggunakan Bahasa Inggris saat kami berbicara padahal beliau menginginkan anaknya untuk mempelajari bahasa ini sampai saya mengerti bahwa Bahasa Inggris jika memang dipelajari sekadar untuk berkomunikasi maka gunakan sesuai fungsi tidak perlu diglorifikasi. Kemarin juga saat cerita dengan Azi dia punya pendapat bahwa ada baiknya karena kita bukan seorang entertainer kita punya hak yang lebih leluasa untuk mengurangi pencampuran bahasa Inggris dan Indonesia saat berbicara, namun tentunya hal ini subjektif alias tidak bisa diterapkan kepada semua orang atau pada setiap situasi.

Tindakan menganggap mewah sesuatu ketika bahasa Inggris  yang digunakan, jika dipandang dari sisi ekonomi yang biasanya membuat satu produk memiliki persona yang "wah" tentu tidak ada salahnya, bahkan mungkin akan berdampak positif contoh nama Produk Minuman Coklat Susu menjadi Chocolate Milk mungkin akan lebih menjual. Namun, ketika Bahasa Inggris dipahami sebagai jurang pemisah antara si pintar dan si bodoh agaknya sebuah pemahaman yang harus diluruskan, lagi-lagi ini hal yang tidak bisa digeneralisir, selingan sedikit sebagai rakyat jelata saya juga sangat berharap memiliki pemimpin yang bilingual karena jika ditarik ke ranah politik akan berbeda topik lagi. Kembali ke jurang pemisah, rasanya disayangkan ketika ada orang-orang yang tidak "menapak tanah" saat menyampaikan sesuatu dalam bahasa Inggris tanpa diterjemahkan ke bahasa Indonesia padahal notabene nya tidak seluruh audiens mengerti.

Fenomena lain yang tidak kalah menarik menurut saya adalah ketika orang-orang lebih tertarik untuk mempelajari Bahasa Inggris dibandingkan mempelajari bahasa daerah sendiri, awalnya saya berpikir naif ya ini karena kebutuhan saat ini di dunia kerja seolah mengindahkan kebutuhan pribadi bahwa saya juga tidak ingin bahasa daerah sendiri hilang perlahan karena tidak digunakan lagi, bukankah salah satu sifat komunal suatu suku yang mampu membuat mereka tetap bisa bertahan adalah memiliki kemampuan berbahasa  daerah. 

Pada akhirnya, adanya Standar Ganda Bahasa khususnya Bahasa Inggris dan Indonesia adalah hal yang dibuat orang kita sendiri dan harusnya bisa dikelola sendiri, mungkin salah satu solusinya bisa saja dilakukan dengan memastikan diri sudah mengenal bahasa ibu dan daerah sendiri lalu dilanjutkan mempelajari bahasa lain.

Jangan sampai karena ingin kebarat-baratan malah berujung lupa dengan akar sendiri.

---